TOPsul. Jakarta – Seorang aktivis agraria asal Riau, Ridwan, menyatakan siap melakukan aksi protes ekstrem di depan Istana Negara Jakarta pada 24 September 2025. Aksi yang ia namakan “cor badan dengan semen” ini akan menjadi simbol perlawanan terhadap apa yang ia sebut sebagai darurat agraria di Indonesia, (16/9/2025).
Ridwan menegaskan, aksinya bukan sekadar unjuk rasa biasa. Dengan mengorbankan tubuhnya, ia ingin menunjukkan betapa beratnya penderitaan rakyat kecil, terutama para petani dan masyarakat adat, dalam mempertahankan tanah yang sudah mereka garap puluhan tahun.
“Negara seakan menutup mata terhadap penderitaan rakyat. Banyak petani diusir dari lahannya sendiri, banyak masyarakat adat kehilangan hutan yang mereka rawat turun-temurun. Saya hanya ingin Presiden mendengar langsung suara kami,” kata Ridwan dalam keterangan yang diterima redaksi.
Darurat Agraria
Menurut Ridwan, saat ini konflik agraria terjadi hampir di semua daerah. Persoalan perebutan tanah antara rakyat dengan perusahaan, baik perkebunan, kehutanan, maupun pertambangan, terus berlangsung tanpa penyelesaian tuntas.
Ia menilai pemerintah justru lebih berpihak pada korporasi besar. Akibatnya, rakyat kecil selalu kalah dalam sengketa tanah.
“Banyak petani tidak punya kepastian hukum atas tanah garapan. Mereka sudah puluhan tahun tinggal dan mengelola tanah itu, tetapi tiba-tiba muncul izin perusahaan. Rakyat yang diusir, perusahaan yang dilindungi,” ujarnya.
Jejak Panjang Perjuangan
Nama Ridwan bukan baru kali ini terdengar. Ia sudah lama dikenal sebagai sosok yang vokal memperjuangkan hak rakyat atas tanah.
Perjalanan panjangnya dimulai dari Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Saat itu, ia bersama Serikat Tani Riau (STR) menolak beroperasinya PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Perusahaan tersebut dianggap mencaplok lahan masyarakat dan merusak hutan yang menjadi sumber penghidupan warga.
Ridwan, yang kala itu juga aktif sebagai kader Partai Rakyat Demokratik (PRD), menjadi salah satu tokoh terdepan dalam aksi penolakan. Ia menuntut pemerintah pusat meninjau ulang SK Menteri Kehutanan Nomor 327 Tahun 2009 yang memberikan izin kepada PT RAPP.
Penangkapan yang Menghebohkan
Perjuangan Ridwan tidak selalu mulus. Pada Mei 2011, ia menghadapi banyak tekanan dan ancaman. Hingga akhirnya, pada tahun 2013, ia ditangkap polisi dari Polres Bengkalis di Pelabuhan Bakauheni, Lampung, ketika hendak menuju Jakarta.
Penangkapan itu terkait aksi protes terhadap perusahaan minyak EMP Malacca Strait S.A. Ridwan dituduh mengajak warga mematikan listrik pembangkit yang memasok energi ke sumur minyak perusahaan tersebut. Akibatnya, operasi sumur minyak berhenti hampir 30 jam.
Kasus itu membuat Ridwan dipenjara. Namun, banyak pihak menilai penangkapannya sarat kepentingan. Organisasi petani yang ia pimpin memang dianggap sebagai lawan tangguh bagi PT RAPP. Dengan ditahannya Ridwan, perjuangan masyarakat dianggap lebih mudah dilemahkan.
Meski begitu, semangat Ridwan tidak padam. Ia tetap konsisten menyuarakan nasib petani, bahkan dari balik jeruji besi.
Kembali ke Jalan Perjuangan
Setelah bebas dari penjara pada 2021, Ridwan kembali terjun ke dunia pergerakan. Ia membangun basis politik melalui Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) dan kini menjabat sebagai Wakil Ketua DPW PRIMA Provinsi Riau.
Selain itu, ia mendirikan Komite Pejuang Pertanian Rakyat (KPPR). Organisasi ini fokus mengkampanyekan Gerakan Lawan Mafia Tanah (Gerlamata). KPPR juga memberi advokasi kepada masyarakat yang menjadi korban kejahatan pertanahan.
“Banyak warga tidak tahu haknya. Mereka hanya pasrah ketika tanahnya dirampas. KPPR hadir untuk mengedukasi rakyat, memberi advokasi, dan mengorganisir perlawanan yang sah secara hukum,” jelas Ridwan.
Simbol Perlawanan
Rencana aksi cor badan dengan semen ini, menurut Ridwan, bukan aksi bunuh diri. Ia menyebutnya sebagai bentuk simbolis, agar negara benar-benar membuka mata.
“Aksi ini memang berisiko, tapi saya ingin pesan ini sampai ke telinga Presiden. Bahwa ada rakyat yang rela tubuhnya dicor dengan semen demi menyampaikan aspirasi. Itu artinya masalah agraria ini sangat serius dan tidak boleh dianggap remeh,” tegasnya.
Ia menambahkan, para petani tidak butuh belas kasihan, tetapi butuh kepastian hukum dan perlindungan negara.
Ridwan berharap Presiden Prabowo Subianto bisa memahami penderitaan rakyat kecil. Ia ingin Presiden membuka ruang dialog dengan para petani, mendengarkan langsung cerita dari mereka yang selama ini berjuang mempertahankan tanah.
“Kalau Presiden berani menemui rakyat, mendengar aspirasi, dan mengambil keputusan yang adil, itu akan menjadi sejarah baru bagi bangsa ini. Tapi kalau Presiden terus menghindar, rakyat akan terus melawan dengan cara apa pun,” katanya.
Ia juga mengingatkan pemerintah agar segera membenahi regulasi agraria. Menurutnya, selama aturan lebih berpihak pada perusahaan, konflik tanah tidak akan pernah selesai.
Dukungan dari Jaringan Petani
Aksi Ridwan sudah mulai mendapat sorotan dari berbagai organisasi masyarakat sipil dan jaringan petani di Riau maupun di daerah lain. Mereka menilai, meski ekstrem, langkah Ridwan adalah bentuk keputusasaan rakyat kecil yang sudah terlalu lama menunggu keadilan.