Oleh: Firmansyah S.E (Ketua DPW Partai PRIMA Sulteng)
TOPsul. Palu Tanggal 24 September selalu menjadi momentum penting untuk merefleksikan sejauh mana negara hadir mendorong kesejahteraan petani di Indonesia. Delapan puluh tahun setelah kemerdekaan, corak ekonomi kita nyatanya tidak banyak berubah dari masa kolonial: masih bertumpu pada penjualan bahan mentah. Nilai tambah justru lebih banyak dinikmati korporasi besar dan negara industri.
Dalam konteks ini, Dewan Pimpinan Wilayah Partai Rakyat Adil Makmur (DPW PRIMA) Sulawesi Tengah menilai bahwa hilirisasi pertanian adalah langkah penting yang harus ditempuh. Petani tidak boleh selamanya hanya menjadi penghasil bahan baku, tetapi harus ditempatkan sebagai penopang utama kedaulatan pangan. Hilirisasi akan memastikan hasil panen tidak dijual mentah, melainkan diolah menjadi produk bernilai tambah yang dikuasai rakyat sendiri.
Namun kenyataannya, mayoritas petani di Indonesia—termasuk di Sulawesi Tengah—masih bekerja dengan alat produksi sederhana. Keterbatasan modal membuat proses garap lahan, perawatan, hingga panen tidak optimal. Hasilnya, kualitas dan kuantitas panen rendah, sementara penghasilan tetap kecil. Kondisi ini diperparah dengan ketergantungan pada tengkulak atau koperasi bermodal besar yang mengenakan bunga tinggi. Petani akhirnya terjebak dalam lingkaran utang.
Di tengah situasi itu, Koperasi Desa Merah Putih menjadi bukti adanya jalan keluar. Melalui koperasi, petani bisa mengakses modal tanpa bunga mencekik dan memiliki jaminan pasar hasil panen. Model ekonomi rakyat seperti ini terbukti mampu memutus mata rantai tengkulak dan membuka jalan menuju kesejahteraan.
Meski begitu, koperasi saja tidak cukup. Negara wajib hadir melalui intervensi nyata: penyediaan tanah, modal murah, teknologi pertanian modern berbasis kolektif, dan jaminan pasar. Tanpa langkah ini, petani akan terus menjadi korban sistem ekonomi yang eksploitatif.
Krisis Lahan Pertanian
Salah satu masalah terbesar adalah penyusutan lahan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada 2003 Indonesia memiliki 8,1 juta hektar sawah. Dua puluh tahun kemudian, jumlahnya menyusut menjadi 7,4 juta hektar. Artinya, hampir 700 ribu hektar sawah hilang karena alih fungsi menjadi kawasan industri, pertambangan, dan perumahan.
Di Sulawesi Tengah, situasinya tak jauh berbeda. Tahun 2023, luas sawah tercatat 191.607 hektar. Dua tahun kemudian, pada 2025, jumlah itu menyusut drastis menjadi hanya sekitar 185 ribu hektar. Dalam dua tahun saja, lebih dari 6 ribu hektar hilang—setara ribuan keluarga petani kehilangan sumber penghidupan.
Sebagian besar lahan tersebut dialihfungsikan menjadi perkebunan besar, tambang, atau infrastruktur. Narasi pembangunan yang diagung-agungkan justru sering mengorbankan petani yang dipaksa keluar dari tanahnya sendiri. Mereka yang masih bertahan menghadapi biaya produksi tinggi, harga pupuk mahal, harga gabah rendah, serta akses pasar yang dikendalikan tengkulak. Tidak heran bila generasi muda enggan melanjutkan tradisi bertani.
Jalan Keluar: Langkah Nyata untuk Petani
Masalah ini bukan sekadar soal berkurangnya lahan, tetapi juga menyangkut kedaulatan pangan dan masa depan bangsa. Bagaimana bisa bicara swasembada pangan bila sawah terus berkurang? Bagaimana petani bisa keluar dari kemiskinan bila tanah mereka justru dirampas oleh kepentingan modal besar?
Untuk menjawab persoalan itu, ada lima langkah nyata yang harus ditempuh:
Reforma Agraria Sejati
Redistribusi tanah untuk petani kecil dan generasi muda yang mau bertani, dengan memanfaatkan tanah terlantar atau yang dikuasai berlebihan korporasi.
Perlindungan Lahan Pertanian
Pemerintah daerah harus memperketat izin alih fungsi lahan sawah produktif.
Subsidi Produksi
Pupuk, benih, dan teknologi pertanian harus tersedia dengan harga murah dan kualitas baik.
Kedaulatan Harga dan Pasar
Negara wajib menetapkan harga gabah dan hasil panen, bukan membiarkannya dikendalikan mekanisme pasar.
Penguatan Koperasi dan Organisasi Petani
Petani perlu berhimpun dalam wadah kolektif agar kuat dalam akses modal, pasar, dan perjuangan hak politik.
Penutup
Dengan langkah-langkah tersebut, petani bisa keluar dari jurang kemiskinan sekaligus menjadi fondasi kedaulatan pangan Indonesia. Sulawesi Tengah memiliki tanah subur dan tradisi agraris yang kuat. Tetapi tanpa keberanian politik untuk menempatkan petani sebagai pusat pembangunan, semua itu akan hilang ditelan sejarah.